Berita

Didik Mukrianto, Kritik Yang Dikriminalisasi Melanggar HAM

DIDIKMUKRIANTO.COM, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat merasa lega atas hasil gelar perkara yang dilakukan Polda Lampung terkait dengan laporan Gindha Ansori terhadap tiktoker Bima Yudho Saputro yang mengkritik Pemerintah Provinsi Lampung. Pasalnya penyidik menghentikan penyidikan kasus tersebut karena tidak ditemukan unsur tindak pidananya.

“Hal mendasar yang harus dipahami terkait dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik  untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,” terang Didik saat dihuhungi Rabu (19/4/2023).

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat ini, apabila mendasarkan kepada substansi tindakan penyidikan tersebut, setiap pelaporan memang harus ditindak lanjuti pemeriksaannya. Namun dalam konteks ini tidak semua laporan bisa dikriminalisasi jika tidak memenuhi atau ditemukan unsur pidananya. Semua sangat tergantung kepada alat bukti, termasuk keterangan klarifikasi maupun saksi dan gelar perkaranya.

“Secara subtansi sejak awal saya tidak menemukan adanya indikasi dan kesengajaan untuk melakukan tindak pidana. Saya melihatnya murni kritik atau hak power correction masyarakat terhadap pemimpinnya yang tak kunjung memperbaiki jalan yang rusak,” terang Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna ini.

Lebih lanjut Doktor ilmu hukum ini menekankan, bahwa dalam konteks HAM, jika kritik dikriminalisasi, bisa berpotensi melanggar HAM. Kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak hanya merupakan bagian penting di dalam sebuah pemerintah yang demokratis, tetapi juga elemen kunci di dalam Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi.

“Seharusnya pemimpin sadar akan posisi politiknya, mandatnya dari rakyat. Idealnya tidak boleh anti kritik, dan sebaliknya harus melibatkan masyarakatnya dalam pembangunan termasuk meminta saran, pendapat, masukan dan kritik. Pemimpin harus lapang dada untuk menangkap aspirasi warganya, bukan menangkap dan memenjarakan warganya yang menggunakan hak kritiknya,” tutur Didik.

Didik yang juga Pesilat dari Persaudaraan Setua Hati Terate ini mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvenan hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Di dalam ICCPR, negara pihak didorong untuk menjamin kebebasan berekspresi warga negaranya.

“Secara tehnis dapat dengan mudah kita analisa, kata “dajal” itu merupakan kata benda dan tidak merujuk pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tertentu. Dan juga tidak ditemukan kalimat-kalimat lain yang memiliki makna yang dapat menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan SARA. Sehingga dengan demikian, kasus ini tidak memenuhi unsur Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 454 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ” pungkasnya

Related Articles

Back to top button