Berita

DPR dan Pemerintah: Dalil Pemohon Uji Materi UU Rusun Tidak Tepat

Selasa, 17 Maret 2015 | 19:19 WIB

Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang  Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rusun) dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (17/3) siang. Pemohon dalam perkara yang teregister dengan Nomor 21/PUU-XIII/2015 ini adalah Kahar Winardi, dkk, yang menguji Pasal 74 Ayat (1), Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 107 UU a quo.

Dalam sidang kali ini, DPR diwakili Didik Mukrianto menyatakan bahwa sudah terdapat klasifikasi rumah susun yang terdiri dari rusun umum, rusun khusus, rusun negara rusun komersial. Menurut Didik, berdasarkan Pasal 15 UU a quo, Pemerintah berperan sebagai pelaku pembangunan secara penuh pada rumah susun negara. Sedangkan untuk rusun umum dan rusun khusus, lanjut Didik, pembangunannya dapat dilakukan oleh pemerintah, setiap orang, lembaga nirlaba dan badan usaha. Kemudian untuk pembangunan rusun komersial hanya dapat dilakukan oleh swasta.

Menjawab dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pihak yang lebih tepat memfasilitasi pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (PPPSRS) adalah pemerintah, Didik berpendapat bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah dalam konteks rumah susun komersial yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Untuk itu, berdasarkan Pasal 70 ayat (5) huruf a UU a quo, maka peran Pemerintah terkait rusun komersial adalah sebatas fungsi pembinaan dan pengawasan PPPSRS.

“Terkait dengan rumah susun komersial, berdasarkan Pasal 70 ayat (5) huruf a Undang-Undang Rumah Susun, peran Pemerintah terhadap pengelolaannya hanya sebatas sebagai fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun,” papar Didik di hadapan majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK, Arief Hidayat.

Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 75 ayat (1) membuka peluang bagi praktik monopoli yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan dalam pembentukan PPPSRS, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU a quo telah memberikan ketentuan bahwa dalam pengambilan keputusan didasarkan pada kepentingan penghuni rusun dan setiap anggota berhak memberikan satu suara.

“Dalam Pasal 77 ayat (1) yaitu dalam hal Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan rumah susun, setiap anggota mempunyai hak yang sama dengan nilai perbandingan proporsional. Dan ayat (2), dalam hal Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan penghunian rumah susun, setiap anggota berhak memberikan satu suara,” urai Didik dengan mengutip Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) UU Rusun.

Kemudian terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa sanksi administratif diberikan kepada penyelenggara satuan rusun, bukan kepada pemilik, Didik berpandangan bahwa adanya peran vital dari PPPSRS dalam dalam pengelolaan rumah susun dan untuk memastikan terbentuknya PPSRS, maka diperlukan pengaturan sanksi administratif. Menurut Didik, sanksi administratif tersebut tidak dikenakan kepada pelaku pembangunan karena pelaku pembangunan hanya bertindak sebagai pengelola pada masa transisi, yakni sepanjang belum terbentuknya perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun. Untuk itu secara umum DPR berpendapat bahwa dalil Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma, tetapi persoalan implementasi norma dalam penyelenggaraan pengelolaan rusun.

Sedangkan Presiden diwakili kuasanya Taufik Widjoyono, dalam keterangannya menyatakan bahwa dalil Pemohon, yakni pihak yang lebih tepat memfasilitasi pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (PPPSRS) adalah pemerintah, adalah tidak tepat. Menurut Taufik, pelaku pembangunan merupakan pihak yang paling mengetahui atas struktur konstruksi, prasarana, sarana, dan utilitas umum, letak kepemilikan bersama, serta dokumen perizinan dan pemilikan rusun. Sedangkan Pemerintah, lanjut Taufik, bukanlah pihak yang mengetahui hal-hal tersebut. “Mengingat pemerintah bukan pihak yang mengetahui atas struktur, konstruksi, prasarana, sarana, dan utilitas umum, letak kepemilikan bersama, serta dokumen perizinan, dan pemilik satuan rumah susun,” papar Taufik, yang menjabat Sekretaris Jenderal  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Sedangkan terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU a quo diberikan kepada penyelenggara satuan rumah susun, bukan kepada pemilik, Taufik berpendapat bahwa ketentuan tersebut justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil antara pelaku pembangunan dan para pemilik sarusun.

“Bahwa rumusan Pasal 107 jo Pasal 74 ayat (1) jo Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang  Rumah Susun, Undang-Undang Rumah Susun tersebut telah memberikan kepastian hukum yang adil antara pelaku pembangunan dan para pemilik sarusun,” urai Taufik.

Menanggapi keterangan dari DPR dan Pemerintah, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan tentang cakupan pengertian memfasiltasi dalam penyelenggaraan rusun. Selain itu, Palguna juga menanyakan tentang macam-macam sanksi administrtif terhadap pemilik satuan rusun yang tidak membentuk PPPSRS. “Jadi yang mau saya tanya itu sebenarnya begini, ini Pemohon ini mempertanyakan mengapa Pasal 74 ayat (1) itu kok masuk kepada pengenaan sanksi administratif. Jadi Pemohon ini mau bertanya, sebenarnya mau dilepaskan dari itu. Kalau Pemohon tidak melakukan itu, maka sanksi administratif apa yang akan dikenakan kepada Pemohon andai kata Pasal 74 ayat (1) itu tidak dilaksanakan,” kata Palguna.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menanyakan kehadiran negara dalam empat kategori rusun, yakni rusun umum, rusun khusus, rusun negara dan rusun komersial. “Apakah kehadiran negara dalam hal ini juga akan diam saja. Artinya kalau toh yang tiga saja diperlakukan bisa, kenapa yang satu ini tidak. Toh ini kan juga sama-sama menyangkut hajat hidup orang banyak, hajat hidup rakyat kita juga,” kata Suhartoyo.

Kemudian menegaskan apa yang disampaikan oleh Palguna, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar juga menanyakan terkait pengenaan sanksi adminitratif dalam penyelenggaran rusun. “Saya ingin menegaskan yang ditanyakan oleh Pak Palguna tadi, bagaimana ini ada pencabutan IMB, pencabutan izin usaha, itu ke mana arahnya itu,” papar Patrialis. Sidang lanjutan dengan agenda mendengar keterangan ahli dan saksi akan dilaksanakan pada hari Selasa (7/4).

Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10698

Related Articles

Back to top button