Berita

FPD : Putusan Mahkamah Konstitusi Berpotensi Menimbulkan Problematika.

DIDIKMUKRIANTO.COM – Jakarta, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dr. Didik Mukrianto mengatakan heran dan sulit menalar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 112/PUU-XX/2022 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

“Ya, cukup surprice putusan MK, butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma, atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU? Apakah implikasi putusan tersebut kedepan terhadap berbagai pengaturan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki pembentuk UU yang mengatur hal serupa, jika dihadapkan kepada kepada kewenangan MK sebagai final interpetrator UUD? Apakah putusan tersebut menberikan kepastian hukum atau sebaliknya? Apakah putusan tersebut membawa kemanfaatan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan? Mininal itulah diskursus publik yang akan terus berkembang,” terang Didik saat dihubungi Jum’at (26/05/23);

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat ini, merasa masih confuse dengan keputusan MK jika melihat substansinya dan dihadapkan kepada kewenangan MK. Menurutnya, obyek putusan tersebut harusnya open legal policy. Pembentuk UU-lah yang diberikan hak dan kebebaskan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya. 

“Kita tahu secara garis besar, suatu kebijakan pembentukan hukum, dapat dikatakan bersifat terbuka (open legal policy), manakala UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang,” tutur Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna ini.

Didik mempertanyakan, jika ratio decidendi putusan MK ini dititikberatkan kepada alasan keadilan, lantas apa kabar dengan putusan MK yang lain yang serupa, misalkan putusan yang terkait dengan Presidential Threshold yang menjadi kebijakan hukum terbuka pembuat UU? 

“Bukankah  penentuan Presidential Threshold juga berpotensi tidak adil, dan bahkan menghambat demokrasi? Saya yakin masih banyak putusan serupa yang posisinya demikian. Belum lagi pengaturan yang serupa di undang-undang lainnya yang saat ini berlaku termasuk UU MK. Putusan ini berpotensi problematik. Saya tidak mengerti juga apakah putusan ini akan memberikan kepastian hukum atau bahkan sebaliknya,” ungkapnya. 

Senior Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat Madiun ini, memahami bahwa  sebagai “the guardian of constitution” Mamkamah Konstitusi harus mengawal konstitusi. Sedangkan sebagai “the final interpreter of  constitution” diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, kecuali Mahkamah Konstitusi.

“Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, harusnya  Mahkamah Konstitusi tidak boleh bertindak sebagai Tirani Justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. Mahkamah Konstitusi harus menjadi “Constitutional Court”, dan bukan “Interest Court” atau bahkan “Political Court”,” tegas Didik.

Lebih lanjut Ketu Umum Rugby Indonesia ini menerangkan bahwa dalam mendesign tugas, fungsi dan kewenangan suatu lembaga  tidak harus sama, sangat tergantung juga tujuan dan karakterisktik kelembagaannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, tidak bisa digeneralisir.

“Jika ratio decidenci putusan Mahkamah Konstitusi salah satunya menitikberatkan kepada keadilan, maka Mahkamah Konstitusi juga harus konsisten dalam semua putusannya, misalkan presidential threshold,” terangnya

Didik menuturkan, logikanya dengan penekanan keadilan, gugatan presidential threshold harus dikabulkan. Dan termasuk jika pembatasan usia dalam berbagai jabatan yang diatur di berbagai undang-undang seperti batas usia caleg, presiden dan wakil presiden, gubernur & wakil gubernur, bupati & wakil bupati, hakim, hakim agung, hakim Mahkamah Konstitusi dan jabatan lainnya diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, jangan sampai Mahkamah Konstitusi memberikan perlakuan yang berbeda.

“Jika Mahkamah Konstitusi menggunakan kekuasaan dengan semena-mena dan subyektif, tidak ada manfaatnya  menerapkan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang. Lebih jauh dari itu, sekalian saja pengaturan pembatasan dengan undang-undang dalam konstitusi dihapuskan. Apakah memang demikian maunya Mahkamah Konstitusi?,” sindir Didik.

Sebelumnya, dalam sidang pengucapan putusan yang digelar Kamis (25/05/2023), Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari semula empat tahun menjadi lima tahun.

Mahkamah Konstitusi  juga menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK tentang syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Mahkamah Konstitusi  dalam hal ini mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mempersoalkan Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.

Terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari hakim konstitusi Saldi Isra khusus terhadap pengujian norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 tentang KPK dan terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih terhadap pengujian norma Pasal 34 UU 30/2002 tentang KPK.

Related Articles

Back to top button