BeritaOpini

Demokrat : Perppu Ciptaker Harus Ditolak

DIDIKMUKRIANTO.COM, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dr. Didik Mukrianto mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) harus ditolak. Menurutnya jika mendasarkan kepada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, revisi Undang-Undang Ciptaker melalui Perppu Ciptaker tersebut bisa dianggap menabrak norma,  logika dan akal sehat serta prinsip-prinsip negara hukum. Menurut penyandang Doktor ilmu hukum ini, dalam pertimbangan putusan MK dinyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan publik. Naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja kala itu tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, akses terhadap UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis.

“Jika mendasarkan substansi pertimbangan putusan itu, salah satu sebab UU Ciptaker Inkonstitusional karena kurangnya keterbukaan dan pelibatan publik sebagaimana disyaratkan dalam UU Nomor 12 tahun 2011. Sementara kita tahu Perppu sepenuhnya hak ekseklusif atau hak prerogatife Presiden, yang tidak mensyaratkan adanya keterlibatan public (meaningful participation),” terang Didik saat dihubungi Kamis (16/2/2023).

Menurut Wakil Sekjend Partai Demokrat ini, kebijakan Perppu ini seolah-olah bisa dianggap sebagai bentuk arogansi Presiden, dengan mengabaikan putusan MK, mengabaikan dan tidak menghormati hak rakyat, serta prinsip-prinsip negara hukum. Pengabaian terhadap hak-hak rakyat sama saja dengan  membajak demokrasi tambahnya.

Didik menerangkan bahwa MK juga menilai, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sesuai dengan sistematika pembentukan undang-undang, sehingga bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Majelis Hakim MK menegaskan, bahwa obesitas regulasi dan tumpang-tindih antar UU tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku untuk menyusun undang-undang. Meski, MK dapat memahami, metode omnibus law bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut lantas dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku.

“Menjadi aneh dan sulit dipahami secara rasional dan akal sehat, jika keputusan MK tersebut disederhanakan dengan penerbitan Perppu sebagai solusinya. Substansi persoalan dan jawabannya bukan saja tidak nyambung, tapi juga bisa menabrak prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional,” kata Didik.

Oleh karena itu, menurut Didik Perppu Ciptaker harus ditolak karena bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Bagaimana logika dan rasionalnya, mau memperbaiki UU agar Konstitusional tapi dilakukan dengan cara-cara yang sebaliknya atau Inkonstitusional.

“Dalam Negara Hukum yang demokratis seperti Indonesia, hukum adalah panglimanya. Bukan Kekuasaan, bukan Politik atau yang lainnya. Demokrasi bukan hanya terkait dengan politik dan kekuasaan semata, tapi juga tentang konstitualisme, kepatuhan terhadap sistem dan perundang-undangan, sekaligus etika dan aturan main. Terkait juga dengan rule of law, penegakan hukum. Tentang akuntabilitas penyelenggara negara, bebasnya mereka dari penyimpangan, check and balances, juga tentang penggunaan kekuasaan (the exercise of power) – apakah kekuasaan digunakan secara tepat atau melampaui batas. Untuk itu, atas nama kekuasaan, tidak dibenarkan siapapun termasuk Presiden melakukan pengabaian terhadap konstitusi, UU, peraturan, aturan main termasuk etika,” sambung Didik.

Sebelumnya pada hari Rabu (15/2/2023) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyetujui Perppu Ciptaker untuk disahkan menjadi UU dalam pengambilan keputusan di tingkat II di Rapat Paripurna.

Related Articles

Back to top button