BeritaOpini

TAKKAN ADA DEMOKRASI TANPA HUKUM DITEGAKKAN

Demokrasi tanpa kaum demokratmembuat kuasa cacat dalam mewujudkan legitimasi rakyat

Oleh : Dr. DIDIK MUKRIANTO, SH., MH (Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Wakil Sekjend Partai Demokrat, Ketua Umum Karang Taruna Nasional, Ketua Umum Rugby Indonesia)

Pemegang Otoritas Jangkar Negara

Antara Kapten dan Jangkarnya 

Ibarat sebuah kapal, negara itu seperti kapal di tengah gelombang yang sedang menuju ke suatu pelabuhan tertentu. Selain kapal punya peranti kompas dan peta, ia bukan saja bawa sekoci pengaman tetapi juga punya apa yang disebut sebagai jangkar untuk menahan empasan gelombang saat keterpa badai atau saat berlabuh. Demikian pula sebuah negara, agar tahan terhadap gelombang, ia mempunyai bentuk dan sistem pemerintahan yang sah. 

Ada berbagai bentuk negara atau jenis kekuasaan negara dan sistem pemerintahan di dunia ini, antara lain monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Menurut Sejarah Dunia, di awal abad 19, ada sekitar 900-an tahta kerajaan tetapi turun drastis jadi 240 buah di abad 20. Sedangkan di abad 21 tinggal sekitar 40-antakhta yang masih eksis di dunia. Dari sekian itu kini tinggal 5negara (Arab Saudi, Brunei, Switzerland, Oman, dan Quatar) yang mempunyai penguasa monarki mutlak dan selebihnya terbatas pada sistem konstitusi. 

Bahkan konsep monarki mutlak kini hampir tidak ada. Kebanyakan adalah monarki konstitusional, yaitu penguasa monarki yang dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi. Kapten kapal pemerintahan di sistem monarki konstitusional dipegang oleh Perdana Menteri tetapi jangkar kapal agar negara tak terbawa arus gelombang dipegang raja atau ratu. Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan, sedangkan ratu atau raja itu kepala negara. Perdana Menteri itu memimpin pelayaran menuju tujuan, sedangkan raja/ratu itu menentukan jalurnya, mengatur tugas dan bertanggung jawab terhadap semua awak kapal dan penumpangnya, bahkan termasuk barang logistiknya (Kompas, 24/7/2017). Ketika kapal tertepa badai topan, jangkar harus diturunkan agar aman. Artinya, di sini raja/ratu tak mempunyai fungsi eksekutif tetapi fungsi moral dan simbolik yang utamanya menjaga integrasi politik.

Monarki demokratis berbeda dengan konsep penguasa monarki yang sebenarnya. Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir ke kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, menerapkan kedua sistem, yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis. Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut.

Power Tends to Corrupt 

Setelah ribuan tahun eksis, tepatnya sejak zaman Yunani Kuno, ketiga bentuk bernegara dan sistem pemeritahan ini punya sisi masalah yang sampai kini belum terpecahkan, yaitu selalu saja penguasa yang lahir dari mana pun sistemnya, cenderung korup. Artinya, bentuk dan sistem apa pun yang diterapkan, tidak ada garansi akan selalu dapat melahirkan penguasa yang tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).

Penyalahgunaan kekuasan tetap bisa terjadi sekalipun negara dipimpin oleh orang yang awalnya arif bijaksana. Kenapa? “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak… demikian pendapat John Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902), atau sapaanlazimnya Lord Acton. Ibaratnya, baju boleh berganti kapan dan di mana saja, dari model baju kota sebagai bangsawan sampaimodel pejabat, atau baju model pemuka agama, atau dari model ndeso baju petani sampai baju tukang mebel, atau model wakil rakyat, atau baju hakim, akan tetapi orang yang memakainya tidak banyak berbeda. Intinya, dari sistem atau bentuk negara macam apa pun, orang itu cenderung korup karena besarnya wewenang kekuasaan yang dipegangnya.

Monarki yang ideal adalah satu sistem politik yang dipimpin oleh seorang penguasa adil, bijaksana, dan selalu mendengar aspirasi rakyat. Aristokrasi yang ideal adalah satu sistem dipimpin oleh sekelompok kecil orang terdiri atas kaum cerdik pandai yang bijaksana, jujur dan aspiratif.

Namun sekarang ini banyak negara memilih sistem pemerintahan demokrasi sebagai dasar sistem bernegara karena dianggap yang paling rasional, paling representatif, dan paling proporsional. Kenapa? Karena sistem bernegara dengan demokrasi lebih menjanjikan lantaran banyak kemslahatannya bagi rakyat. Syarat yang sulit diteggakkan adalah bahwa untuk menuju demokrasi konstitusional hanyalah butuh hukum yang diciptakan secara demokratis. Setelah itu hukum harus dipatuhi,dan dijalankan secara konsisten. Artinya, hukum dan demokrasi adalah dua sisi sekeping mata uang. Dua hal yang tak bisa dipisahkan.

Demokrasi itu Rasional, Proporsional dan Profesional

Saya bangga sebagai orang demokrat, selain karena hidup di negeri yang menjunjung demokrasi juga karena sistem bernegara ini saya anggap paling masuk akal, paling mewakili kelompok mana pun dan profesional. Kebetulan pula saya lahir dari abad terkini yang banyak hal, termasuk praktik-praktik bernegara yang dikemukakan lebih secara rasional dan profesional. Bahkan abad ini banyak orang menilai sebagai zaman rasional, bahwa bangsa atau masyarakat dianggap sebagai berbadab (civilized) bilamana menerima dan menerapkan demokrasi sebagai landasan pengaturan tatanan kehidupan kenegaraannya. Sementara bangsa atau masyarakat yang menolak demokrasi dinilai sebagai bangsa/masyarakat yang belum beradab (uncivilized).

Demokrasi yang dijalankan secara profesional dalam sebuah negara merupakan dambaan hampir setiap warga. Demokrasi yang indah adalah demokrasi yang dilakukan dengan budaya profesional. Profesionalisme itu akan muncul apabila dilandasi oleh sikap moral yang santun dan saling menghargai.

Pengakuan terhadap kekuasaan rakyat adalah sebuah bentuk demokrasi dalam berbangsa dan bernegara. Hendaknya sebuah negara dalam menjalankan demokrasi sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak rakyat, diwujudkan dengan profesionalisme dan penerapan nilai-nilai moral. Namun, sebaik-baiknya dan seideal-idealnya yang namanya demokrasi itu tetap punya kelemahan.

Demokrasi pun Tak Lepas dari Cacat

Ketika orang semakin keras bersuara atas nama demokrasi, baik karena ingin mendirikan organisasi atau pembubaran organisasi oleh pemerintah, semakin keras pula masing-masing menyuarakan dengan alasan yang sama, yakni demi demokrasi. Benarkah atas nama demokrasi, orang atau sekelompok orang melawan pemerintah sah atau atas nama demokrasi lalu berdemo secara seenaknya?

Di satu sisi, rakyat sangat menggantungkan diri agar pemerintah menjamin kebebasan bersuara dan berkumpul. Di sisi lain, negara punya tanggung jawab untuk mempertahankan keutuhan negara dan ideologi. Intinya, rakyat ingin kebebasan tetapi negara ingin persatuan dan Pancasila bukan sebagai alat pemecah belah tapi sebagai alat pemersatu.

Francis Fukuyama (1994), sosok berdarah Jepang tetapi kebangsaan AS, mengklaim bahwa demokrasi itu tak lepas dari cacat (Kompas,11/8/2017). Meskipun demokrasi punya cacat, ia menyatakan (2004), negara harus diperkuat, apalagi kini muncul banyak benturan paham dan ideologi yang masih berlanjut. 

Sejarah Indonesia telah mencatat benturan paham dan ideologi itu bentuknya seperti Gerakan NII, DI dan TII, Gerakan PKI 1948 dan 1965, ancaman untuk mengganti dasar negara Pancasila, gerakan radikal fundamentalisme dan terorisme yang memosisikan sebagai kontra negara. Kenapa? Sebab, jika Presiden berdiam diri maka tinggal tunggu kehancuran negara, karena dengan diamnya terhadap radikal justru menunjukkan lemahnya peran negara. Jika presiden merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan bukannya diktator tetapi itulah kewenangan sahnya. Lalu, di mana batas demokrasi?

Batas Demokrasi

Mohammad Hatta, peletak dasar demokrasi asli Indonesia, dalam bukunya Demokrasi Kita (Pustaka Antara, 1966), menyatakan bahwa demokrasi adalah impian bangsa sejak masa penjajah. Orang dengan mudahnya mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasil dalam praktik. Perlu dipahami, gambaran antara cita-cita dan praktik terletak pada medan perjuangan yang disebut realitas daripada cita-cita. Di alam ide bisa digambarkan bangunan negara ideal demokrasi, namun dalam tataran praktik nyata kita sering dihadapkan rintangan karena praktiknya sering jauh dari patokan idealnya.

Kita tahu bahwa sifat manusia itu lamban, tak mudah menerima hal baru dan ingin berpegang pada kebiasaan. Reaksi atas penindasan dan penjajahan masa lalu menimbulkan sikap menantang pada segala ikatan. Dengan munculnya kebebasan baru sering menghilangkan pertimbangan.

Demokrasi sering dipahami bahwa tiap golongan boleh bertindak sekehendaknya, dengan dalih kedaulatan rakyat itu berarti kedaulatan ada di rakyat, rakyat punya kekuasaan tertinggi, rakyat sebagai raja dan sumber dari datangnya hukum sementara kebijakan pemerintah ditentang. Lalu dengan mudah rakyat menyodorkan keinginannya dan meminta pemerintah memenuhinya. Jika pemerintah menolak keinginnya dikatakan pemerintah menentang demokrasi dan mengarah ke dictatorship. Apa jadinya kalau begini? Bisa-bisa negara bubar!

Demokrasi Indonesia telah ditetapkan secara resmi dalam konstitusi. Konstitusi telah mengatur bagaimana demokrasi tersebar di lembaga-lembaga negara. Lembaga itulah yang menjadi wakil rakyat dalam berdemokrasi. Justru pemerintah atas nama demokrasi menanggung beban besar untuk mewujudkan kedaulatan rakyat itu.

Sebagai sekadar contoh saja Peraturan Perundangan (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang pembubaran Organisasi Kemasyarakatan. Yang kontra menyatakan bahwa power must not go uncheck, karena keluarnya Perpu akan memberangus kebebasan berpolitik dan berorganisasi. Namun yang pro beralasan bahwa Perpu diperlukan karena tugas negara itu mengatur tatanan sehingga ada aturan yang jelas dan tegas. Karena pula, demokrasi itu tidak sama dengan bebas tanpa aturan.

Antara Sistem Presidensial Murni dan Semi Presidensial 

Yang dianut Indonesia (de jure) adalah sistem presidensial, bukan sistem parlementer. Namun faktanya, Indonesia pernah mengalami krisis politik, demokrasi dan sistem ketatanegaraan, dengan telah menganut sistem parlementer di zaman Soekarno, sistem otoritarian di zaman Soeharto, dan kini mulai lagi dengan sistem demokrasi multipartai yang dulu pernah diterapkan di zaman Soekarno. Yang jelas praktiknya Indonesia kini menganut sistem (semi) Presidensial.  Artinya, presiden mempunyai tugas ganda. Presiden itu kepala pemerintahan sekaligus kepala negara (Kompas, 24/7/2017). Sebagai kepala pemerintahan, presiden menjadi eksekutif tertinggi yang bertanggung jawab atas maju dan mundurnya pemerintah yang diselenggarakan bersama kabinetnya. Namun sebagai kepala negara, presiden menjadi jangkar penjamin keseimbangan politik negara. Apabila terjadi ketidakseimbangan politik di antara lembaga negara, kepala negara harus bertindak dan ambil peran sebagai jangkar sehingga kapal negara tak terombang-ambing oleh ulah dan keisengan lembaga politik tertentu. Kenapa begitu?

Untuk menjawab ini kita mesti tahu siapa sih Indonesia ini? Dalam manuskripnya tentang Negara, Pemerintahan dan Sistem Nasional (28/3/2016), Susilo Bambang Yudhoyono menyebut bahwa selain negara kesatuan, republik, negara hukum dan demokrasi multi partai, Indonesia adalah negara kepulauan, berpenduduk nomor 4 terbesar dunia, Islam terbesar di dunia, dan bukan negara agama. Lagi pula, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN, anggota G20, emerging market dan middle income country, yang kemerdekaannya diperoleh dari pengusiran penjajah, yang kini sedang melakukan transformasi besar.

Bentuk transformasinya, antara lain melakukan empat kali perubahan UUD 1945, dari sistem presidensial murni ke sistem semi presidensial, dan semangat perubahan dari otoritarian ke demokrasi. Akibat dari semi presidensial ini, parlemen menjadi lebih kuat dan efektivitas eksekutif berkurang. Akibat selanjutnya, proses politik makin panjang dan melelahkan, apalagi dengan sistem demokrasi multi partai seperti di zaman reformasi ini. 

Dari presiden Soeharto ke presiden-presiden di era reformasi, ada perubahan jiwa dan napas konstitusi baru, yakni kekuasan presiden dikurangi dengan penambahan kekuasaan parlemen, hak rakyat dan kewenangan daerah diperbesar. Di zaman reformasi pula, check and balances diperbaiki dengan membatasi ruang dan kekuasaan presiden, dengan maksud agar jalan menuju negara maju tercapai diakhir abad 21. Maka dizaman demokrasi seperti ini, hukum mesti diperkuat dan tak terpisah dari demokrasi itu sendiri.

Lalu, apa artinya demokrasi dan hukum tak terpisahkan? Secara gampang boleh dikatakan, kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Demikian pula bila menggunakan logika sebaliknya, kualitas hukum beserta segenap penegakkannya, akan menentukan kualitas demokrasi.

Related Articles

Back to top button