Berita

Uji UU Pilkada: Pemerintah dan DPR Sampaikan Alasan Pembentukan Norma

Kamis, 23 April 2015 01.21 WIB

DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto saat menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Pilkada, Rabu (22/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (22/4) siang di Ruang Sidang Pleno MK. Pemeriksaan perkara pengujian UU Pilkada tersebut dilakukan oleh MK atas empat permohonan berbeda namun memiliki objek pengujian yang sama, yakni perkara nomor 33, 34, 37, dan 38/PUU-XIII/2015.

Pada persidangan tersebut, DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto dan Presiden yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Antarlembaga Kementerian Dalam NegeriZudan Arif Fakrulloh menyampaikan keterangannya terhadap norma yang diuji, yakni ketentuan Pasal 1 angka 6 tentang perubahan hurus r dan huruf s UU a quo.

Mengawali keterangan, Didik Mukrianto menyatakan bahwa ketentuan mengenai larangan calon kepala daerah memiliki hubungan darah dengan petahana, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 6 tentang perubahan hurus r merupakan usulan dari pemerintah. Menurutnya, semangat dari norma tersebut adalah untuk membatasi terjadinya dinasti politik. Adapun gejala dari dinasti politik ini dapat dilihat dari macetnya kaderisasi politik yang menciptakan pragmatisme politik dan dalam rangka menjaga status quo  dengan mendorong kalangan keluarga kepala daerah menggantikan petahana. Lebih lanjut, Didik menyatakan bahwa ketentuan a quo tidak menghilangkan hak konstitusi Pemohon maupun diskriminatif karena terdapat pengecualian yakni telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

“Maksud dari penggalan kalimat tersebut adalah tidak menutup hak secara keseluruhan bagi kerabat petahana tetapi diberikan jeda satu periode pemerintahan saja. Sehingga pada periode berikutnya kerabat petahana tersebut boleh ikut dalam mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah,” papar Didik di hadapan majelis sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.

Ketentuan Pasal 1 angka 6 tentang perubahan hurus s mengatur bahwa DPR, DPD dan DPRD cukup memberitahukan pencalonan, sedangkan TNI, Polri, PNS dan pejabat BUMN/BUMD harus mengundurkan diri. Terhadap pembedaan tersebut, Didik menyatakan jabatan Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah jabatan politik, sedangkan jabatan TNI, Polri, PNS dan Pejabat BUMN/ BUMD adalah jabatan profesi. Untuk itu, Didik berkesimpulan bahwa tidak bisa dipersamakan antara calon yang berasal dari Anggota DPR, DPD, maupun DPRD dengan calon yang berasal dari TNI, Polri, PNS, Pejabat BUMN/BUMD.

“Oleh karenanya tidak bisa dipersamakan tanpa pembedaan antara calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD dengan calon yang berasal dari TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, PNS, Pejabat BUMN, atau BUMD,” urai Didik.

Sementara itu, Zudan Arif Fakrulloh dalam keterangannya menyatakan bahwa politik dinasti dan petahana merupakan salah satu isu krusial bagi pemerintah. Menurutnya, kedudukan antara keluarga petahana dengan kedudukan calon yang lain tidak berada dalam kondisi yang sama. Petahana mempunyai kedudukan yang lebih tinggi karena memiliki akses dan sumber daya yang lebih tinggi, sehingga memperoleh keuntungan fasilitas dan dukungan yang lebih. Untuk itu, lanjut Zudan, maka dibuat pengaturan bahwa calon tidak boleh memiliki hubungan darah dengan petahana.

“Ketentuan untuk menjalankan atau melaksanakan pilkada secara fairness inilah yang mendorong Pemerintah untuk mengatur ketentuan Pasal 7 huruf r agar kontestasi politik berjalan secara equal. Agar bisa berjalan equal, maka diaturlah dengan ketentuan satu periode berikutnya baru boleh untuk mengajukan diri di dalam pilkada di wilayah yang sama,” urai Zudan.

Kemudian, terkait dengan adanya pembedaan calon, Zudan beralasan bahwa terdapat perbedaan masa jabatan, dimana DPR,DPD, dan DPRD hanya lima tahun, sedangkan TNI, Polri, PNS dan BUMN/BUMD tidak eksplisit sampai berapa tahun. Kemudian alasan yang kedua adalah sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD yang kolektif kolegial, sehingga jika dittinggal oleh salah satu anggota maka tidak akan mengganggu kinerja sistem. “Sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial. Sehingga ketika ditinggal oleh salah satu anggotanya sistem besarnya tidak terganggu. Hal ini berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan POLRI yang jabatannya terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugas secara individual apabila ditinggal pasti untuk sementara waktu akan terjadi persoalan di dalam institusinya,” kata Zudan.

Setelah mendengar keterangan, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan data-data yang dimiliki sehingga pemerintah bisa menyimpulkan bahwa calon tidak boleh mempunyai hubungan darah dengan petahana. Data yang ditanyakan ini terkait dengan pertama, jumlah calon kepala daerah yang ada hubungannya dengan Petahana, kedua, berdasarkan relasi dengan petahana, berapa yang sukses dan yang gagal menjadi kepala daerah, ketiga berapa petahana yang sukses dan gagal ketika mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah. Selain itu, Patrialis juga menanyakan tentang perspektif keadilan pembedaan perlakuan antara calon dari DPR, DPD, dan DPRD dengan calon dari TNI, Polri, PNS dan pejabat BUMN/BUMD.

Lebih lanjut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga menanyakan data hasil studi perbandingan yang telah dilakukan oleh pemerintah. “Saya kira hasil kajian dari pemerintah pasti ada hasil studi perbandingan karena kalau tidak salah ada satu studi juga, rata-rata dari negara-negara yang sedang mengalami proses transisi demokrasi begini itu pasti akan menghadapi hal-hal seperti ini. Apakah sekiranya nanti ini, mohon kalau ada hasil studi itu dilampirkan bersama dengan keterangan Pemerintah gitu, ya,” kata Palguna.

Dinamika Proses Legislasi

Menjawab pertanyaan, Zudan menyampaikan bahwa terkait dengan data, akan disampaikan dalam jawaban tertulis. Kemudian terkait dengan pembedaan calon, Zudan mengungkap bahwa pada saat pembahasan, sebenarnya pemerintah mengusulkan agar TNI, Polri, PNS dan pejabat BUMN/BUMD baru mundur setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilkada. Selain itu, Zudan juga mengakui bahwa sebenarnya pemerintah juga mempersoalkan kontrak politik DPR, DPD, dan DPRD untuk masa jabatan 5 tahun. Menurutnya, ketika ingin menjalani etika politik maka berdasarkan kontrak sosial, anggota legislatif tidak boleh mundur karena harus menyelesaikan tugasnya setelah dipilih rakyat. Tetapi, lanjut Zudan, dalam proses pembahasan rancangan undang-undang dengan DPR, hal tersebut tidak disetujui karena terdapat dinamika politik.

“Tetapi, dalam pembahasan dengan DPR, ini tidak disetujui. Jadi, ada dinamika-dinamika politik yang kalau Pemerintah melihat itu ada hidden agenda. Kalau kita berbicara jujur, pesaing terberat dari politisi adalah birokrasi. Maka untuk menutup akses agar kompetitornya berkurang, maka di Undang-Undang ASN, di undang-undang ini langsung di potong akses untuk birokrasi untuk mendaftar. Jadi ini memang menjadi pertimbangan yang tadi pendapat Pemerintah, keterangan Presiden, itu minta ini untuk dikaji kembali apakah harus inkonstitusional atau konstitusional bersyarat. Karena di situlah letak dinamika politik yang muncul pada saat pembahasan,” ungkap Zudan. (Triya IR).

Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10786

Related Articles

Back to top button