
DIDIKMUKRIANTO.COM-Jakarta, Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021 dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 142 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Peraturan Pemerintah ini ditujukan untuk menyatukan (omnibus law), mengharmoniskan, mensinkronkan, memperbarui, dan mencabut ketentuan yang sudah tidak relevan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, serta beberapa pengaturan mengenai penguatan Hak Pengelolaan juga akan memperbarui ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara.
Itu tujuan ideal yang ingin dicapai. Namun perlu juga adanya antisipasi terhadap potensi dampak sosial ekonomi, politik, bahkan hukum & keadilan khususnya terkait dengan penguasaan tanah yang bisa merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Karena selain semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. hukum agraria juga merupakan pelaksanaan pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Membaca Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021) sungguh menyegarkan ingatan dan pengetahuan yang men-triger saya untuk menulis karena ada potensi pergeseran/perubahan norma khususnya pengertian tanah dalam PP 18/2021 jika disandingkan dengan UUPA dan PP 24/1997. Dan ini juga bisa memunculkan paradoks terhadap salah satu tujuan hukum agraria kita dimana pengaturan pemilikan tanah oleh Negara ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ada beberapa hal kecil yang menggelitik dan menarik saya yang mungkin bisa menambah kasanah diskursus seputar Hukum Agraria dan mungkin relate dengan perbincangan publik saat ini terkait penguasaan tanah dan penerbitan sertifikatnya di kawasan pagar laut.
Hal kecil yang menggelitik pemahaman saya adalah terkait dengan pengertian Bumi & Tanah. Terdengar remeh da sederhana, tapi dua kata ini bisa berpotensi merubah konstalasi/game besar permainan penguasaan tanah dan pensertifikatan tanah.
Menurut UUPA
Pasal 1 ayat (4) :
“Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air”.
Pasal 4 ayat (1) :
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Pasal 19 ayat (1) :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Menurut Penjelasan Pasal demi Pasal dalam UUPA
Pasal 1 :
“Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian ..bumi” dan “tanah”, sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1, Yang dimaksud dengan “tanah” ialah permukaan bumi”.
Menurut PP 24/1997
Pasal 1 ayat (1) :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan Oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Pasal 1 ayat (2) :
“Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas”.
Menurut PP 18/2021
Pasal 1 :
“Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi”.
Dari pasal-pasal dan penjelasan UUPA, PP 24/1997 dan PP 18/2021, pelan-pelan coba kita pahami :
- Jika kita mencermati pengertian tanah yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 4 ayat (1) UUPA dan Pasal 1 ayat (1) serta ayat (2) PP 24/1997, terang sekali pengertian tanah adalah permukaan bumi (saja).
- Sedangkan menurut PP 18/2021 pengertian tanah bukan hanya permukaan bumi saja, tapi termasuk didalamnya daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi.
- Jika kita baca kembali Pasal 1 ayat (4) UUPA, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
- Berdasarkan UUPA jo PP 24/1997, untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah meliputipengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya (sertipikat hak atas tanah).
Berdasarkan 4 poin tersebut diatas, menurut pendapat saya :
Telah terjadi pegeseran/perubahan norma atau setidak-tidaknya terdapat perluasan pengertian tanah, yang semula menurut UUPA dan PP 24/1997 pengertian tanah adalah permukaan bumi (saja). Sejak diundangkannya PP 18/2021 pengertian tanah berubah menjadi tanah bukan hanya permukaan bumi saja, tapi termasuk didalamnya daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
Lebih lanjut, jika kita baca kembali Pasal 1 ayat (4) UUPA, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Jika pengertian Bumi dalam UUPA ini disandingkan dengan pengertian tanah dalam PP 18/2021 ada kesan pemahaman yang serupa. Dan ini bisa membawa konsekuensi yang cukup materiil karena penguasaan dan penerbitan sertifikat hak sebagaimana dimaksud dalam UUPA hanya dapat dilakukan terhadap tanah, bukan terhadap bumi.
Apakah ini akan berdampak terhadap “game” besar permainan penguasaan tanah? Menurut hemat saya, iya banget. Sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, tentu PP 18/2021 akan menjadi pedoman hukum yang wajib dipatuhi dan ditaati. PP 18/2021 akan menjadi alat untuk melegalkan setiap peristiwa dan perbuatan hukum yang diatur di dalamnya.
Pertanyaannya, apakah PP 18/2021 melahirkan norma baru dalam perspektif penguasaan tanah dan penerbitan sertifikat hak atas tanah? Menurut saya, iya. Bukan hanya sekedar norma tapi juga melahirkan landasan hukum baru terhadap penguasaan tanah dan penerbitan sertifikat hak atas tanah. Dengan pengertian tanah yang diatur dalam UUPA dan PP 24/1997, tanah hanya terbatas permukaan bumi (saja). Tidak ada pengaturan “…maupun yang tertutup air”. Tapi menurut PP 18/2021 terang sekali penambahan norma dan aturan baru yaitu tanah bukan hanya permukaan bumi saja, tapi termasuk didalamnya daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi.
Pergeseran/perubahan pengertian tanah yang terkesan sepele inilah yang mungkin dijadikan alat oleh “pemain” tanah untuk melakukan penguasaan dan pensertifikatan di atas laut? Apakah ini relate dengan situasi dan kondisi dengan penguasaan tanah seperti yang terjadi di kawasan pagar laut? Sekilas mungkin benar, tapi untuk memastikan monggo diadvokasi, dianalisa dan di “udari” pelan-pelan dengan jernih, jujur dan terbuka;
Apakah ini kelalaian, kecelakaan, kesengajaan untuk membukakan dan sekaligus memberikan jalan yang seolah-olah “legal” kepada oknum “pemain” tanah untuk mengeruk keuntungan demi kantong pribadi, mengakali UU, memperkosa & merampas hak-hak rakyat, membatasi akses masyarakat untuk sejahtera, mengabaikan fungsi sosial hak atas tanah? Wallahualam Bissawab.
Jika itu benar, apakah itu bagian design dari oknum penguasa yang ber-“komplot” dengan oknum pengusaha yang bisa berpotensi merugikan masyarakat dan membuat rakyat menderita? Jika itu benar juga, moral hazard yang sulit untuk bisa dimaafkan.
PP 18/2021 ini ditujukan untuk menyatukan (omnibus law), mengharmoniskan, mensinkronkan, memperbarui, dan mencabut ketentuan yang sudah tidak relevan berdasarkan UU Ciptaker. Apakah pengertian tanah dalam UUPA dan PP 24/1997 bisa dikatakan untuk menyatukan (omnibus law), mengharmoniskan, mensinkronkan, memperbarui, dan mencabut ketentuan yang sudah tidak relevan berdasarkan UU Ciptaker?
Monggo pelan-pelan kita cerna!
Mengharmonisasi, mensinkronisasi?
Saya memahami dengan terang telah terjadi perubahan norma khusus terkait pengertian tanah dalam PP 18/2021. Apakah PP 18/2021 bisa merubah norma yang diatur dalam UUPA? Sesuai Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 jo Undang-undang Nomor 13 tahun 2022, jenis dan hierarki PP 18/2021 berada dibawah UUPA. Artinya pengaturan ketentuan/norma khususnya pengertian tanah dalam PP 18/2021 tidak boleh bertentangan dengan UUPA.
Memperbarui, dan mencabut?
Sesuai Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 jo Undang-undang Nomor 13 tahun 2022 loud and clear PP 18/2021 tidak bisa memperbarui dan mencabut norma atau ketentuan dalam UUPA. Lantas apakah, karena tidak relevan dengan UU Ciptaker, ketentuan dalam UUPA bisa dicabut dengan PP 18/2021? Sekali lagi, PP mustahil bisa memperbarui dan mencabut norma dalam UU.
Atas dasar itu semua, bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi jika pergeseran/perubahan norma tersebut berkonsekuensi terhadap kewajiban institusi kita untuk melakukan kewajiban khususnya terkait dengan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA dan Pasal 1 ayat (1) PP 24/1997! Ingat, produk dari pendaftaran tanah ini adalah sertifikat hak atas tanah! Mungkin ini juga yang relate dengan penerbitan sertipikat di kawasan pagar laut.
Berbagai cara oknum “pemain” tanah untuk mengakali aturan, merampas hak untuk menguasai tanah, namun jika pemerintah, para pemimpin berdiri tegak diatas kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat Insya Allah keadilan akan tetap tegak berdiri, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan dapat terwujud.
Penulis : Dr. DIDIK MUKRIANTO, SH., MH